Senin, 14 Desember 2015

BELAJAR DAN TEORI – TEORI BELAJAR

BELAJAR DAN TEORI – TEORI BELAJAR

A.     PENDAHULUAN
Belajar tentunya menjadi hal yang telah kita lakukan setiap hari, tak hanya dimulai pada usia sekolah namun semenjak lahir setiap orang telah melakukan kegiatan belajar. Belajar dapat berlangsung secara formal maupun tidak, dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja, di sekolah, di luar sekolah, di taman, di suatu komunitas, di sebuah forum, dan tidak terbatas waktu.
Belajar tidak hanya dilakukan ketika siang hari saja atau malam hari saja, namun kegiatan belajar dapat dilakukan kapan saja selama pengetahuan yang ada dipelajari oleh seseorang tersebut. Sumber dari suatu kegiatan belajar pun dapat berasal darimana saja, dari orang tua, dari teman, dari guru, dari buku, dari radio, dari internet, dan sebagainya.
Pada pembahasan ini akan diulas mengenai apakah definisi dari belajar tersebut, bagaimanakah bentuk – bentuk dari belajar, apakah ada dan bagaimanakah teori – teori belajar tersebut.

B.      ISI
a.    DEFINISI BELAJAR
Menurut Gage (1984) : Belajar dapat disefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Dari pernyataan Gage tersebut dapat diambil 4 komponen penting yang dapat diulas lagi dan menjadikan definisi itu sendiri menjadi lebih jelas pemahamannya. Empat komponen itu adalah :
1.       Perubahan Perilaku
Dikatakan oleh Gage bahwa dalam belajar “……organisma berubah perilakunya……”. Terjadinya suatu perubahan ini dapat diketahui dari adanya perbedaan perilaku dari satu waktu dengan waktu yang lain ketika suatu organisma tersebut diberi keadaan atau situasi yang sama. Contohnya saja ketika seorang anak memecahkan 5 buah teka-teki di suatu game center saat ia berumur 5 tahun dan saat ia berumur 7 tahun dengan teka-teki yang sama dari teka-teki pertama hingga terakhir, mungkin ketika anak tersebut berumur 5 tahun ada 3 teka-teki yang tak bisa ia pecahkan, namun ketika ia berumur 7 tahun ia dapat memecahkan semuanya. Dari perubahan inilah dapat diambil kesimpulan bahwa anak tersebut telah belajar.
2.       Perilaku Terbuka
Para ahli psikologi dalam meneliti suatu perubahan dilakukan dengan cara mengamati perilaku terbuka seseorang. Perilaku terbuka dapat diamati perubahannya dengan mengamati perubahan perilaku verbal. Perilaku verbal diantaranya menulis, berbicara, bergerak, dan lain-lainnya. Dari perubahan perilaku tersebut dapat dipelajari bagaimana seseorang dalam berfikir, merasa, mengingat, memecahkan masalah, kreatifitas seseorang, dan lain-lainnya. Maka sebagai indikator bahwa perubahan telah terjadi, mengamati dan mempelajari perilaku terbuka adalah cara yang banyak dilakukan oleh para ahli psikologi dalam menyimpulkan apa yang sedang seseorang pikirkan.
3.       Belajar dan Pengalaman
Kata terakhir pada pernyataan Gage adalah “……akibat pengalaman……”. Pengalaman yang menjadi sebab terjadinya perubahan perilaku seseorang tidak selalu disebut belajar. Pengalaman dalam pernyataan Gage memiliki batas-batas pembeda antara pengalaman yang dapat disebut sebagai penyebab perubahan perilaku dan juga tidak. Misalnya saja seseorang berubah perilakunya karena meminum alkohol, menggunakan obat-obatan, maka perubahan perilaku seseorang tersebut tidak bisa dikatakan sebagai akibat dari pengalaman. Begitu pula perubahan perilaku karena sesuatu yang fisiologis pada manusia tidak dapat dikatakan sebagai akibat dari pengalaman, misalnya saja ketika seseorang merasa kelelahan, indera pada manusia beradaptasi, dan lain-lainnya, tidak dapat dikatakan pula bahwa belajar telah terjadi pada seseorang tersebut.
4.       Belajar dan Kematangan
Kematangan merupakan salah satu aspek yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku pada seseorang, namun tidak termasuk dalam belajar. Karena perubahan perilaku yang terjadi karena kematangan lebih diakibatkan oleh perubahan fisiologis daripada belajar. Pertumbuhan dan perkembangan organisma-organisma misalnya dalam berjalan, berbicara, lebih dituai hasil perubahannya karena kematangan itu sendiri. Memang orang tua dan lingkungan mengajari dalam berjalan dan berbicara namun itu hanya untuk membantu kesiapannya dalam pertumbuhannya tersebut. Maka dari itu kematangan tidak bisa dikatakan sebagai belajar.

b.   BENTUK – BENTUK BELAJAR
Menurut Gage (1984) ada 5 bentuk – bentuk belajar, yaitu :
1.       Belajar Responden
Belajar responden merupakan bentuk belajar dengan memberikan stimulus-stimulus pada organisma yang dapat mengakibatkan adanya respon pada organisma tersebut. Stimulus-stimulus yang diterima tidak selalu baik, ada stimulus-stimulus yang negative dan ada pula stimulus-stimulus netral. Stimulus (perangsang, pendorong) itu sendiri dapat mempengerahui perilaku suatu organisma dalam banyak hal, terutama dapat menimbulkan respon-respon emosional. Contohnya saja ketika ada seorang siswa baru, mungkin yang ia rasakan adalah suatu ketakutan, ketakutan dengan sekolahannya, dengan guru, dengan peraturan-peraturan sekolah, takut akan menjadi bahan ejekan dan sebagainya, maka stimulus-stimulus tersebut merupakan stimulus yang mampu membuat siswa memiliki perasaan negatif. Karena perasaan negatif mulai muncul dalam pemikiran siswa maka ia akan takut pula dalam pelajaran-pelajaran yang diikutinya, misalnya saja pelajaran fisika, ketika siswa merasa takut maka simbol-simbol yang akan ia pelajari akan semakin menakutkan, materi yang sebelumnya tidak ada harus ia pelajari dengan perasaan ketakutan dan inilah yang menyebabkan tidak efektifnya suatu belajar. Berbeda halnya jika siswa yang masuk sekolah disambut dengan senyum hangat guru, dengan sapaan yang memberikannya rasa nyaman berada di sekolah, maka bukan hanya pada pelajaran, gedung sekolah, buku-buku, teman, dan komponen-komponen lainnya pun akan menjadi baik dan memberi respon emosional baik pada siswa tersebut. Pada kasus ini, sekolah, buku, teman dan komponen lainnya yang semula merupakan stimulus netral akan menjadi stimulus yang baik pada siswa tersebut. Syarat dari bantuk belajar responden ini adalah bentuk belajar yang memiliki stimulus-stimulus.
2.       Belajar Kontiguitas
Pada bentuk belajar kontiguitas ini, taka ada yang namanya kejadian yang tak menghasilkan sesuatu. Sekecil dan sesederhana apapun kejadian itu, dan meski sangat sederhana kejadian tersebut dapat menghasilkan belajar. Manusia berubah karena kejadian atau peristiwa yang terjadi, tidak terbatas di lingkungan sekolah, karena kehidupan tidak hanya di sekolah. Di rumah, di taman, di kebun, di suatu komunitas, di jalan dan dimana saja pasti terjadi suatu kejadian, sesederhana dan sekecil apapun kejadian itu pasti dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Bentuk belajar kontiguitas yang lain adalah stereotyping. Kondisi-kondisi yang dapat mengakibatkan belajar stereotyping ini misalnya saja drama-drama atau film-film dan sejenisnya yang ditonton oleh seseorang tentang bagaimana seorang ibu tiri, digambarkan bahwa ibu tiri itu kejam, bagaimana seorang professor itu memakai kacamata dan botak, seorang bibi yang ramah dan lainnya, padahal tidak selalu ibu tiri itu kejam, tdak selalu professor memakai kacamata dan botak, dan semacamnya. Namun karena acara yang ditayangkan tersebut ditonton secara terus-menerus dan berulang-ulang maka seseorang tersebut akan menyimpulkan suatu hal dari apa yang ditontonnya itu, dari sinilah yang dinamakan dengan kondisi yang dapat menciptakan belajar stereotyping.
3.       Belajar Operant
Perbedaannya dengan bentuk belajar responden dan kontiguitas adalah bentuk belajar operant ini menghasilkan suatu perilaku yang timbul secara spontan tanpa stimulus apapun. Konsekuensi dari belajar operant merupakan variable sangat penting karena konsekuensi dapat memperkuat perilaku-perilaku. Contohnya saja ketika ada seorang siswa pandai dalam berintonasi, lalu seorang guru memujinya dan ia mulai berlatih dan meningkatkan kemampuannya hingga ia dapat mengikuti berbagai lomba puisi atau pidato dan sejenisnya, maka contoh diatas adalah bentuk belajar operant, spontan ia lakukan karena mendapat pujian dari gurunya, yang semula ia telah berpuisi biasa, setelah diberi pujian maka ia memperkuat perilaku sebelumnya yaitu lebih melatih berintonasi dengan baik.
4.       Belajar Observasional
Bentuk belajar observasinal merupakan bentuk belajar yang kerap dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pada bentuk belajar ini seseorang belajar dari mengamati orang lain atau melakukan sebuah observasi, bagaimana orang lain melakukannya, urutan-urutan ia melakukannya dan bagaimana mengakhirinya, lalu dari apa yang ia amati dilakukannya sendiri seperti apa yang telah ia amati sebelumnya. Contohnya saja ketika seseorang akan menggunakan skateboard, sebelumnya ia akan mengamati dahulu orang lain tentang bagaimana memainkan skateboard tersebut, dari peletakannya, bagaimana posisi kaki dan tubuhnya, bagaimana cara mengayunkan kakinya agar skateboard tersebut bergerak dan sejenisnya. Lalu dari apa yang diamati itu akan dicontoh dan dilakukan sama halnya seperti apa yang orang lain tersebut lakukan.
5.       Belajar Kognitif
Bentuk belajar ini lebih mengarah ke hubungan – hubungan logis, rasional atau nonarbitrer. Berbeda dari keempat bentuk belajar yang lain yang menerapkan konsep-konsep, seperti adanya stimulus lalu respon, kejadian dan perubahan perilaku dan seterusnya, pada bentuk belajar ini menganut bahwa sesuatu yang penting tidak dapat ditemukan dari konsepsi. Kalau secara keseluruhan dari keempat bentuk belajar membahas secara umum dan mengarah ke sekolah, peran guru dan murid, yang dibahas pada belajar kognitif adalah mengenai persepsi siswa, hubungan antara unsur-unsur yang ada, proses-proses mental dan sejenisnya.

c.    TEORI – TEORI BELAJAR
Pandangan umum mengenai teori – teori belajar :
1.       Teori – Teori Belajar Sebelum Abad Ke-20
Teori – teori belajar sebelum abad 20 diantaranya yaitu teori disiplin mental, teori pengembangan alamiah dan teori apersepsi. Teori disiplin merupakan teori yang menyatakan bahwa belajar dibentuk dari kedisiplinan, seorang anak dilatih secara konsisten dan kontinyu setiap harinya, jika ia gagal atau belum sepenuhnya paham dengan apa yang diajarkan maka ia akan terus mendapat porsi pengetahuan itu sekali lagi dan seterusnya sampai anak itu dapat paham betul dengan apa yang diajarkan. Lawan dari teori disiplin adalah teori alamiah, teori ini menyatakan bahwa belajar dapat terjadi karena perkembangan seseorang secara alamiah, disini seorang pengajar tidak akan memaksa siswanya untuk dapat mengerti suatu hal, namun menunggu seorang anak itu untuk bertanya dan tertarik lalu melakukan belajar dengan sendirinya. Kemudian teori terakhir yang berlawanan dengan teori disiplin sekaligus teori alamiah adalah teori apersepsi, pada teori ini mengatakan bahwa belajar adalah proses terasosiasikannya gagasan-gagasan yang ada menjadi suatu bentuk pikiran, seorang anak belajar dengan menggabungkan gagasan-gagasan yang ada, tanpa ada pelatihan mental karena pada teori ini mental bersifat dinamis, tidak pula ada gagasan bawaan atau gagasan yang ada sejak lahir, dan teori ini memiliki proses belajar yang sistematis dari teori tabula rasa tentang pikiran-pikiran.
Persamaan dari ketiga teori diatas adalah teori-teori tanpa adanya eksperimen dan lebih mengarah ke spekulatif.
2.       Teori – Teori Belajar Abad Ke-20
Teori belajar abad 20 dikelompokkan menjadi dua yaitu teori perilaku dan teori gestalt-field. Teori perilaku menganggap bahwa belajar adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, dengan adanya respon, adanya stimulus, yang mengacu pada suatu prinsip. Teori ini tidak memikirkan apa yang ada dalam pikiran siswanya, pengajar yang menganut teori ini memiliki tujuan untuk mengubah perilaku siswa yang tampak secara signifikan. Sedangkan teori gestalt-field menganggap bahwa belajar adalah proses perolehan atau perubahan insait, pandangan, harapan, pola pikir, dan sejenisnya. Perilaku yang tidak tampak dapat dipelajari dengan cara-cara ilmiah. Dengan cara ilmiah itulah prinsip dan kesimpulannya disebut dengan teori kognitif. Teori kognitif berlawanan dengan teori perilaku. Pengajar yang menganut teori ini memiliki tujuan untuk menolong siswa mengubah pemahaman tentang suatu masalah dan suatu situasi secara signifikan.
               
C.      DAFTAR RUJUKAN

Ratna Wilis Dahar. TEORI – TEORI BELAJAR : 1989BELAJAR DAN TEORI – TEORI BELAJAR
A.     PENDAHULUAN
Belajar tentunya menjadi hal yang telah kita lakukan setiap hari, tak hanya dimulai pada usia sekolah namun semenjak lahir setiap orang telah melakukan kegiatan belajar. Belajar dapat berlangsung secara formal maupun tidak, dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja, di sekolah, di luar sekolah, di taman, di suatu komunitas, di sebuah forum, dan tidak terbatas waktu.
Belajar tidak hanya dilakukan ketika siang hari saja atau malam hari saja, namun kegiatan belajar dapat dilakukan kapan saja selama pengetahuan yang ada dipelajari oleh seseorang tersebut. Sumber dari suatu kegiatan belajar pun dapat berasal darimana saja, dari orang tua, dari teman, dari guru, dari buku, dari radio, dari internet, dan sebagainya.
Pada pembahasan ini akan diulas mengenai apakah definisi dari belajar tersebut, bagaimanakah bentuk – bentuk dari belajar, apakah ada dan bagaimanakah teori – teori belajar tersebut.

B.      ISI
a.    DEFINISI BELAJAR
Menurut Gage (1984) : Belajar dapat disefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Dari pernyataan Gage tersebut dapat diambil 4 komponen penting yang dapat diulas lagi dan menjadikan definisi itu sendiri menjadi lebih jelas pemahamannya. Empat komponen itu adalah :
1.       Perubahan Perilaku
Dikatakan oleh Gage bahwa dalam belajar “……organisma berubah perilakunya……”. Terjadinya suatu perubahan ini dapat diketahui dari adanya perbedaan perilaku dari satu waktu dengan waktu yang lain ketika suatu organisma tersebut diberi keadaan atau situasi yang sama. Contohnya saja ketika seorang anak memecahkan 5 buah teka-teki di suatu game center saat ia berumur 5 tahun dan saat ia berumur 7 tahun dengan teka-teki yang sama dari teka-teki pertama hingga terakhir, mungkin ketika anak tersebut berumur 5 tahun ada 3 teka-teki yang tak bisa ia pecahkan, namun ketika ia berumur 7 tahun ia dapat memecahkan semuanya. Dari perubahan inilah dapat diambil kesimpulan bahwa anak tersebut telah belajar.
2.       Perilaku Terbuka
Para ahli psikologi dalam meneliti suatu perubahan dilakukan dengan cara mengamati perilaku terbuka seseorang. Perilaku terbuka dapat diamati perubahannya dengan mengamati perubahan perilaku verbal. Perilaku verbal diantaranya menulis, berbicara, bergerak, dan lain-lainnya. Dari perubahan perilaku tersebut dapat dipelajari bagaimana seseorang dalam berfikir, merasa, mengingat, memecahkan masalah, kreatifitas seseorang, dan lain-lainnya. Maka sebagai indikator bahwa perubahan telah terjadi, mengamati dan mempelajari perilaku terbuka adalah cara yang banyak dilakukan oleh para ahli psikologi dalam menyimpulkan apa yang sedang seseorang pikirkan.
3.       Belajar dan Pengalaman
Kata terakhir pada pernyataan Gage adalah “……akibat pengalaman……”. Pengalaman yang menjadi sebab terjadinya perubahan perilaku seseorang tidak selalu disebut belajar. Pengalaman dalam pernyataan Gage memiliki batas-batas pembeda antara pengalaman yang dapat disebut sebagai penyebab perubahan perilaku dan juga tidak. Misalnya saja seseorang berubah perilakunya karena meminum alkohol, menggunakan obat-obatan, maka perubahan perilaku seseorang tersebut tidak bisa dikatakan sebagai akibat dari pengalaman. Begitu pula perubahan perilaku karena sesuatu yang fisiologis pada manusia tidak dapat dikatakan sebagai akibat dari pengalaman, misalnya saja ketika seseorang merasa kelelahan, indera pada manusia beradaptasi, dan lain-lainnya, tidak dapat dikatakan pula bahwa belajar telah terjadi pada seseorang tersebut.
4.       Belajar dan Kematangan
Kematangan merupakan salah satu aspek yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku pada seseorang, namun tidak termasuk dalam belajar. Karena perubahan perilaku yang terjadi karena kematangan lebih diakibatkan oleh perubahan fisiologis daripada belajar. Pertumbuhan dan perkembangan organisma-organisma misalnya dalam berjalan, berbicara, lebih dituai hasil perubahannya karena kematangan itu sendiri. Memang orang tua dan lingkungan mengajari dalam berjalan dan berbicara namun itu hanya untuk membantu kesiapannya dalam pertumbuhannya tersebut. Maka dari itu kematangan tidak bisa dikatakan sebagai belajar.

b.   BENTUK – BENTUK BELAJAR
Menurut Gage (1984) ada 5 bentuk – bentuk belajar, yaitu :
1.       Belajar Responden
Belajar responden merupakan bentuk belajar dengan memberikan stimulus-stimulus pada organisma yang dapat mengakibatkan adanya respon pada organisma tersebut. Stimulus-stimulus yang diterima tidak selalu baik, ada stimulus-stimulus yang negative dan ada pula stimulus-stimulus netral. Stimulus (perangsang, pendorong) itu sendiri dapat mempengerahui perilaku suatu organisma dalam banyak hal, terutama dapat menimbulkan respon-respon emosional. Contohnya saja ketika ada seorang siswa baru, mungkin yang ia rasakan adalah suatu ketakutan, ketakutan dengan sekolahannya, dengan guru, dengan peraturan-peraturan sekolah, takut akan menjadi bahan ejekan dan sebagainya, maka stimulus-stimulus tersebut merupakan stimulus yang mampu membuat siswa memiliki perasaan negatif. Karena perasaan negatif mulai muncul dalam pemikiran siswa maka ia akan takut pula dalam pelajaran-pelajaran yang diikutinya, misalnya saja pelajaran fisika, ketika siswa merasa takut maka simbol-simbol yang akan ia pelajari akan semakin menakutkan, materi yang sebelumnya tidak ada harus ia pelajari dengan perasaan ketakutan dan inilah yang menyebabkan tidak efektifnya suatu belajar. Berbeda halnya jika siswa yang masuk sekolah disambut dengan senyum hangat guru, dengan sapaan yang memberikannya rasa nyaman berada di sekolah, maka bukan hanya pada pelajaran, gedung sekolah, buku-buku, teman, dan komponen-komponen lainnya pun akan menjadi baik dan memberi respon emosional baik pada siswa tersebut. Pada kasus ini, sekolah, buku, teman dan komponen lainnya yang semula merupakan stimulus netral akan menjadi stimulus yang baik pada siswa tersebut. Syarat dari bantuk belajar responden ini adalah bentuk belajar yang memiliki stimulus-stimulus.
2.       Belajar Kontiguitas
Pada bentuk belajar kontiguitas ini, taka ada yang namanya kejadian yang tak menghasilkan sesuatu. Sekecil dan sesederhana apapun kejadian itu, dan meski sangat sederhana kejadian tersebut dapat menghasilkan belajar. Manusia berubah karena kejadian atau peristiwa yang terjadi, tidak terbatas di lingkungan sekolah, karena kehidupan tidak hanya di sekolah. Di rumah, di taman, di kebun, di suatu komunitas, di jalan dan dimana saja pasti terjadi suatu kejadian, sesederhana dan sekecil apapun kejadian itu pasti dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Bentuk belajar kontiguitas yang lain adalah stereotyping. Kondisi-kondisi yang dapat mengakibatkan belajar stereotyping ini misalnya saja drama-drama atau film-film dan sejenisnya yang ditonton oleh seseorang tentang bagaimana seorang ibu tiri, digambarkan bahwa ibu tiri itu kejam, bagaimana seorang professor itu memakai kacamata dan botak, seorang bibi yang ramah dan lainnya, padahal tidak selalu ibu tiri itu kejam, tdak selalu professor memakai kacamata dan botak, dan semacamnya. Namun karena acara yang ditayangkan tersebut ditonton secara terus-menerus dan berulang-ulang maka seseorang tersebut akan menyimpulkan suatu hal dari apa yang ditontonnya itu, dari sinilah yang dinamakan dengan kondisi yang dapat menciptakan belajar stereotyping.
3.       Belajar Operant
Perbedaannya dengan bentuk belajar responden dan kontiguitas adalah bentuk belajar operant ini menghasilkan suatu perilaku yang timbul secara spontan tanpa stimulus apapun. Konsekuensi dari belajar operant merupakan variable sangat penting karena konsekuensi dapat memperkuat perilaku-perilaku. Contohnya saja ketika ada seorang siswa pandai dalam berintonasi, lalu seorang guru memujinya dan ia mulai berlatih dan meningkatkan kemampuannya hingga ia dapat mengikuti berbagai lomba puisi atau pidato dan sejenisnya, maka contoh diatas adalah bentuk belajar operant, spontan ia lakukan karena mendapat pujian dari gurunya, yang semula ia telah berpuisi biasa, setelah diberi pujian maka ia memperkuat perilaku sebelumnya yaitu lebih melatih berintonasi dengan baik.
4.       Belajar Observasional
Bentuk belajar observasinal merupakan bentuk belajar yang kerap dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pada bentuk belajar ini seseorang belajar dari mengamati orang lain atau melakukan sebuah observasi, bagaimana orang lain melakukannya, urutan-urutan ia melakukannya dan bagaimana mengakhirinya, lalu dari apa yang ia amati dilakukannya sendiri seperti apa yang telah ia amati sebelumnya. Contohnya saja ketika seseorang akan menggunakan skateboard, sebelumnya ia akan mengamati dahulu orang lain tentang bagaimana memainkan skateboard tersebut, dari peletakannya, bagaimana posisi kaki dan tubuhnya, bagaimana cara mengayunkan kakinya agar skateboard tersebut bergerak dan sejenisnya. Lalu dari apa yang diamati itu akan dicontoh dan dilakukan sama halnya seperti apa yang orang lain tersebut lakukan.
5.       Belajar Kognitif
Bentuk belajar ini lebih mengarah ke hubungan – hubungan logis, rasional atau nonarbitrer. Berbeda dari keempat bentuk belajar yang lain yang menerapkan konsep-konsep, seperti adanya stimulus lalu respon, kejadian dan perubahan perilaku dan seterusnya, pada bentuk belajar ini menganut bahwa sesuatu yang penting tidak dapat ditemukan dari konsepsi. Kalau secara keseluruhan dari keempat bentuk belajar membahas secara umum dan mengarah ke sekolah, peran guru dan murid, yang dibahas pada belajar kognitif adalah mengenai persepsi siswa, hubungan antara unsur-unsur yang ada, proses-proses mental dan sejenisnya.

c.    TEORI – TEORI BELAJAR
Pandangan umum mengenai teori – teori belajar :
1.       Teori – Teori Belajar Sebelum Abad Ke-20
Teori – teori belajar sebelum abad 20 diantaranya yaitu teori disiplin mental, teori pengembangan alamiah dan teori apersepsi. Teori disiplin merupakan teori yang menyatakan bahwa belajar dibentuk dari kedisiplinan, seorang anak dilatih secara konsisten dan kontinyu setiap harinya, jika ia gagal atau belum sepenuhnya paham dengan apa yang diajarkan maka ia akan terus mendapat porsi pengetahuan itu sekali lagi dan seterusnya sampai anak itu dapat paham betul dengan apa yang diajarkan. Lawan dari teori disiplin adalah teori alamiah, teori ini menyatakan bahwa belajar dapat terjadi karena perkembangan seseorang secara alamiah, disini seorang pengajar tidak akan memaksa siswanya untuk dapat mengerti suatu hal, namun menunggu seorang anak itu untuk bertanya dan tertarik lalu melakukan belajar dengan sendirinya. Kemudian teori terakhir yang berlawanan dengan teori disiplin sekaligus teori alamiah adalah teori apersepsi, pada teori ini mengatakan bahwa belajar adalah proses terasosiasikannya gagasan-gagasan yang ada menjadi suatu bentuk pikiran, seorang anak belajar dengan menggabungkan gagasan-gagasan yang ada, tanpa ada pelatihan mental karena pada teori ini mental bersifat dinamis, tidak pula ada gagasan bawaan atau gagasan yang ada sejak lahir, dan teori ini memiliki proses belajar yang sistematis dari teori tabula rasa tentang pikiran-pikiran.
Persamaan dari ketiga teori diatas adalah teori-teori tanpa adanya eksperimen dan lebih mengarah ke spekulatif.
2.       Teori – Teori Belajar Abad Ke-20
Teori belajar abad 20 dikelompokkan menjadi dua yaitu teori perilaku dan teori gestalt-field. Teori perilaku menganggap bahwa belajar adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, dengan adanya respon, adanya stimulus, yang mengacu pada suatu prinsip. Teori ini tidak memikirkan apa yang ada dalam pikiran siswanya, pengajar yang menganut teori ini memiliki tujuan untuk mengubah perilaku siswa yang tampak secara signifikan. Sedangkan teori gestalt-field menganggap bahwa belajar adalah proses perolehan atau perubahan insait, pandangan, harapan, pola pikir, dan sejenisnya. Perilaku yang tidak tampak dapat dipelajari dengan cara-cara ilmiah. Dengan cara ilmiah itulah prinsip dan kesimpulannya disebut dengan teori kognitif. Teori kognitif berlawanan dengan teori perilaku. Pengajar yang menganut teori ini memiliki tujuan untuk menolong siswa mengubah pemahaman tentang suatu masalah dan suatu situasi secara signifikan.
               
C.      DAFTAR RUJUKAN
Ratna Wilis Dahar. TEORI – TEORI BELAJAR : 1989BELAJAR DAN TEORI – TEORI BELAJAR
A.     PENDAHULUAN
Belajar tentunya menjadi hal yang telah kita lakukan setiap hari, tak hanya dimulai pada usia sekolah namun semenjak lahir setiap orang telah melakukan kegiatan belajar. Belajar dapat berlangsung secara formal maupun tidak, dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja, di sekolah, di luar sekolah, di taman, di suatu komunitas, di sebuah forum, dan tidak terbatas waktu.
Belajar tidak hanya dilakukan ketika siang hari saja atau malam hari saja, namun kegiatan belajar dapat dilakukan kapan saja selama pengetahuan yang ada dipelajari oleh seseorang tersebut. Sumber dari suatu kegiatan belajar pun dapat berasal darimana saja, dari orang tua, dari teman, dari guru, dari buku, dari radio, dari internet, dan sebagainya.
Pada pembahasan ini akan diulas mengenai apakah definisi dari belajar tersebut, bagaimanakah bentuk – bentuk dari belajar, apakah ada dan bagaimanakah teori – teori belajar tersebut.

B.      ISI
a.    DEFINISI BELAJAR
Menurut Gage (1984) : Belajar dapat disefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Dari pernyataan Gage tersebut dapat diambil 4 komponen penting yang dapat diulas lagi dan menjadikan definisi itu sendiri menjadi lebih jelas pemahamannya. Empat komponen itu adalah :
1.       Perubahan Perilaku
Dikatakan oleh Gage bahwa dalam belajar “……organisma berubah perilakunya……”. Terjadinya suatu perubahan ini dapat diketahui dari adanya perbedaan perilaku dari satu waktu dengan waktu yang lain ketika suatu organisma tersebut diberi keadaan atau situasi yang sama. Contohnya saja ketika seorang anak memecahkan 5 buah teka-teki di suatu game center saat ia berumur 5 tahun dan saat ia berumur 7 tahun dengan teka-teki yang sama dari teka-teki pertama hingga terakhir, mungkin ketika anak tersebut berumur 5 tahun ada 3 teka-teki yang tak bisa ia pecahkan, namun ketika ia berumur 7 tahun ia dapat memecahkan semuanya. Dari perubahan inilah dapat diambil kesimpulan bahwa anak tersebut telah belajar.
2.       Perilaku Terbuka
Para ahli psikologi dalam meneliti suatu perubahan dilakukan dengan cara mengamati perilaku terbuka seseorang. Perilaku terbuka dapat diamati perubahannya dengan mengamati perubahan perilaku verbal. Perilaku verbal diantaranya menulis, berbicara, bergerak, dan lain-lainnya. Dari perubahan perilaku tersebut dapat dipelajari bagaimana seseorang dalam berfikir, merasa, mengingat, memecahkan masalah, kreatifitas seseorang, dan lain-lainnya. Maka sebagai indikator bahwa perubahan telah terjadi, mengamati dan mempelajari perilaku terbuka adalah cara yang banyak dilakukan oleh para ahli psikologi dalam menyimpulkan apa yang sedang seseorang pikirkan.
3.       Belajar dan Pengalaman
Kata terakhir pada pernyataan Gage adalah “……akibat pengalaman……”. Pengalaman yang menjadi sebab terjadinya perubahan perilaku seseorang tidak selalu disebut belajar. Pengalaman dalam pernyataan Gage memiliki batas-batas pembeda antara pengalaman yang dapat disebut sebagai penyebab perubahan perilaku dan juga tidak. Misalnya saja seseorang berubah perilakunya karena meminum alkohol, menggunakan obat-obatan, maka perubahan perilaku seseorang tersebut tidak bisa dikatakan sebagai akibat dari pengalaman. Begitu pula perubahan perilaku karena sesuatu yang fisiologis pada manusia tidak dapat dikatakan sebagai akibat dari pengalaman, misalnya saja ketika seseorang merasa kelelahan, indera pada manusia beradaptasi, dan lain-lainnya, tidak dapat dikatakan pula bahwa belajar telah terjadi pada seseorang tersebut.
4.       Belajar dan Kematangan
Kematangan merupakan salah satu aspek yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku pada seseorang, namun tidak termasuk dalam belajar. Karena perubahan perilaku yang terjadi karena kematangan lebih diakibatkan oleh perubahan fisiologis daripada belajar. Pertumbuhan dan perkembangan organisma-organisma misalnya dalam berjalan, berbicara, lebih dituai hasil perubahannya karena kematangan itu sendiri. Memang orang tua dan lingkungan mengajari dalam berjalan dan berbicara namun itu hanya untuk membantu kesiapannya dalam pertumbuhannya tersebut. Maka dari itu kematangan tidak bisa dikatakan sebagai belajar.

b.   BENTUK – BENTUK BELAJAR
Menurut Gage (1984) ada 5 bentuk – bentuk belajar, yaitu :
1.       Belajar Responden
Belajar responden merupakan bentuk belajar dengan memberikan stimulus-stimulus pada organisma yang dapat mengakibatkan adanya respon pada organisma tersebut. Stimulus-stimulus yang diterima tidak selalu baik, ada stimulus-stimulus yang negative dan ada pula stimulus-stimulus netral. Stimulus (perangsang, pendorong) itu sendiri dapat mempengerahui perilaku suatu organisma dalam banyak hal, terutama dapat menimbulkan respon-respon emosional. Contohnya saja ketika ada seorang siswa baru, mungkin yang ia rasakan adalah suatu ketakutan, ketakutan dengan sekolahannya, dengan guru, dengan peraturan-peraturan sekolah, takut akan menjadi bahan ejekan dan sebagainya, maka stimulus-stimulus tersebut merupakan stimulus yang mampu membuat siswa memiliki perasaan negatif. Karena perasaan negatif mulai muncul dalam pemikiran siswa maka ia akan takut pula dalam pelajaran-pelajaran yang diikutinya, misalnya saja pelajaran fisika, ketika siswa merasa takut maka simbol-simbol yang akan ia pelajari akan semakin menakutkan, materi yang sebelumnya tidak ada harus ia pelajari dengan perasaan ketakutan dan inilah yang menyebabkan tidak efektifnya suatu belajar. Berbeda halnya jika siswa yang masuk sekolah disambut dengan senyum hangat guru, dengan sapaan yang memberikannya rasa nyaman berada di sekolah, maka bukan hanya pada pelajaran, gedung sekolah, buku-buku, teman, dan komponen-komponen lainnya pun akan menjadi baik dan memberi respon emosional baik pada siswa tersebut. Pada kasus ini, sekolah, buku, teman dan komponen lainnya yang semula merupakan stimulus netral akan menjadi stimulus yang baik pada siswa tersebut. Syarat dari bantuk belajar responden ini adalah bentuk belajar yang memiliki stimulus-stimulus.
2.       Belajar Kontiguitas
Pada bentuk belajar kontiguitas ini, taka ada yang namanya kejadian yang tak menghasilkan sesuatu. Sekecil dan sesederhana apapun kejadian itu, dan meski sangat sederhana kejadian tersebut dapat menghasilkan belajar. Manusia berubah karena kejadian atau peristiwa yang terjadi, tidak terbatas di lingkungan sekolah, karena kehidupan tidak hanya di sekolah. Di rumah, di taman, di kebun, di suatu komunitas, di jalan dan dimana saja pasti terjadi suatu kejadian, sesederhana dan sekecil apapun kejadian itu pasti dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Bentuk belajar kontiguitas yang lain adalah stereotyping. Kondisi-kondisi yang dapat mengakibatkan belajar stereotyping ini misalnya saja drama-drama atau film-film dan sejenisnya yang ditonton oleh seseorang tentang bagaimana seorang ibu tiri, digambarkan bahwa ibu tiri itu kejam, bagaimana seorang professor itu memakai kacamata dan botak, seorang bibi yang ramah dan lainnya, padahal tidak selalu ibu tiri itu kejam, tdak selalu professor memakai kacamata dan botak, dan semacamnya. Namun karena acara yang ditayangkan tersebut ditonton secara terus-menerus dan berulang-ulang maka seseorang tersebut akan menyimpulkan suatu hal dari apa yang ditontonnya itu, dari sinilah yang dinamakan dengan kondisi yang dapat menciptakan belajar stereotyping.
3.       Belajar Operant
Perbedaannya dengan bentuk belajar responden dan kontiguitas adalah bentuk belajar operant ini menghasilkan suatu perilaku yang timbul secara spontan tanpa stimulus apapun. Konsekuensi dari belajar operant merupakan variable sangat penting karena konsekuensi dapat memperkuat perilaku-perilaku. Contohnya saja ketika ada seorang siswa pandai dalam berintonasi, lalu seorang guru memujinya dan ia mulai berlatih dan meningkatkan kemampuannya hingga ia dapat mengikuti berbagai lomba puisi atau pidato dan sejenisnya, maka contoh diatas adalah bentuk belajar operant, spontan ia lakukan karena mendapat pujian dari gurunya, yang semula ia telah berpuisi biasa, setelah diberi pujian maka ia memperkuat perilaku sebelumnya yaitu lebih melatih berintonasi dengan baik.
4.       Belajar Observasional
Bentuk belajar observasinal merupakan bentuk belajar yang kerap dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pada bentuk belajar ini seseorang belajar dari mengamati orang lain atau melakukan sebuah observasi, bagaimana orang lain melakukannya, urutan-urutan ia melakukannya dan bagaimana mengakhirinya, lalu dari apa yang ia amati dilakukannya sendiri seperti apa yang telah ia amati sebelumnya. Contohnya saja ketika seseorang akan menggunakan skateboard, sebelumnya ia akan mengamati dahulu orang lain tentang bagaimana memainkan skateboard tersebut, dari peletakannya, bagaimana posisi kaki dan tubuhnya, bagaimana cara mengayunkan kakinya agar skateboard tersebut bergerak dan sejenisnya. Lalu dari apa yang diamati itu akan dicontoh dan dilakukan sama halnya seperti apa yang orang lain tersebut lakukan.
5.       Belajar Kognitif
Bentuk belajar ini lebih mengarah ke hubungan – hubungan logis, rasional atau nonarbitrer. Berbeda dari keempat bentuk belajar yang lain yang menerapkan konsep-konsep, seperti adanya stimulus lalu respon, kejadian dan perubahan perilaku dan seterusnya, pada bentuk belajar ini menganut bahwa sesuatu yang penting tidak dapat ditemukan dari konsepsi. Kalau secara keseluruhan dari keempat bentuk belajar membahas secara umum dan mengarah ke sekolah, peran guru dan murid, yang dibahas pada belajar kognitif adalah mengenai persepsi siswa, hubungan antara unsur-unsur yang ada, proses-proses mental dan sejenisnya.

c.    TEORI – TEORI BELAJAR
Pandangan umum mengenai teori – teori belajar :
1.       Teori – Teori Belajar Sebelum Abad Ke-20
Teori – teori belajar sebelum abad 20 diantaranya yaitu teori disiplin mental, teori pengembangan alamiah dan teori apersepsi. Teori disiplin merupakan teori yang menyatakan bahwa belajar dibentuk dari kedisiplinan, seorang anak dilatih secara konsisten dan kontinyu setiap harinya, jika ia gagal atau belum sepenuhnya paham dengan apa yang diajarkan maka ia akan terus mendapat porsi pengetahuan itu sekali lagi dan seterusnya sampai anak itu dapat paham betul dengan apa yang diajarkan. Lawan dari teori disiplin adalah teori alamiah, teori ini menyatakan bahwa belajar dapat terjadi karena perkembangan seseorang secara alamiah, disini seorang pengajar tidak akan memaksa siswanya untuk dapat mengerti suatu hal, namun menunggu seorang anak itu untuk bertanya dan tertarik lalu melakukan belajar dengan sendirinya. Kemudian teori terakhir yang berlawanan dengan teori disiplin sekaligus teori alamiah adalah teori apersepsi, pada teori ini mengatakan bahwa belajar adalah proses terasosiasikannya gagasan-gagasan yang ada menjadi suatu bentuk pikiran, seorang anak belajar dengan menggabungkan gagasan-gagasan yang ada, tanpa ada pelatihan mental karena pada teori ini mental bersifat dinamis, tidak pula ada gagasan bawaan atau gagasan yang ada sejak lahir, dan teori ini memiliki proses belajar yang sistematis dari teori tabula rasa tentang pikiran-pikiran.
Persamaan dari ketiga teori diatas adalah teori-teori tanpa adanya eksperimen dan lebih mengarah ke spekulatif.
2.       Teori – Teori Belajar Abad Ke-20
Teori belajar abad 20 dikelompokkan menjadi dua yaitu teori perilaku dan teori gestalt-field. Teori perilaku menganggap bahwa belajar adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, dengan adanya respon, adanya stimulus, yang mengacu pada suatu prinsip. Teori ini tidak memikirkan apa yang ada dalam pikiran siswanya, pengajar yang menganut teori ini memiliki tujuan untuk mengubah perilaku siswa yang tampak secara signifikan. Sedangkan teori gestalt-field menganggap bahwa belajar adalah proses perolehan atau perubahan insait, pandangan, harapan, pola pikir, dan sejenisnya. Perilaku yang tidak tampak dapat dipelajari dengan cara-cara ilmiah. Dengan cara ilmiah itulah prinsip dan kesimpulannya disebut dengan teori kognitif. Teori kognitif berlawanan dengan teori perilaku. Pengajar yang menganut teori ini memiliki tujuan untuk menolong siswa mengubah pemahaman tentang suatu masalah dan suatu situasi secara signifikan.
               
C.      DAFTAR RUJUKAN
Ratna Wilis Dahar. TEORI – TEORI BELAJAR : 1989

Tidak ada komentar:

Posting Komentar